Rabu, 22 Juni 2011

Presiden SSoal Ruyati: "Supremasi Hukum di Atas Segalanya"

Presiden Yudhoyono, Kamis (23/6) pagi, menjelaskan soal kasus Ruyati binti Satubi, tenaga kerja Indonesia yang dihukum mati karena membunuh majikannya di Saudi Arabia. Presiden menyatakan keprihatinan, juga kecaman terhadap Kerajaan Saudi Arabia yang dinilai melanggar norma hubungan internasional.

Namun, soal tindakan hukum terhadap Ruyati, sikap pemerintah, seperti tergambar dalam pernyataan Presiden: "Jawaban saya, supremasi hukum di atas segalanya."

Yudhoyono mengatakan, tiap negara memiliki sistem hukum, termasuk adat istiadat dan budaya. Kata Presiden, sebagaimana ia meminta warga negara lain yang tinggal di Indonesia menghormati sistem hukum, adat istiadat dan budaya kita, maka warga negara kita yang hidup di negara lain juga wajib melakukan itu.

Presiden Yudhoyono mengaku juga kerap menerima permintaan baik langsung, tidak langsung, juga tertulis maupun tak tertulis, untuk meringankan hukuman mati terhadap warga negara lain di Indonesia. "Hampir semua permintaan itu saya tolak. Ini demi keadilan," kata Yudhoyono.

Dalam konferensi pers di kantor kepresidenan itu, Yudhoyono membuka penjelasan, lalu dilanjutkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dan ditutup lagi oleh Presiden.

Tiga menteri ini adalah anggota tim terpadu untuk evaluasi soal ketenagakerjaan yang dibentuk Presiden tiga bulan lalu.

Yudhoyono mengaku menyimak dan mengikuti berbagai pendapat di media massa dan ruang publik, dan menengarai ada pendapat bahwa pemerintah tidak berbuat apa-apa. "..dikatakan Ruyati korban kezaliman dan katanya tidak bersalah. Benarkah itu semua? Oleh karena itulah saya memandang perlu hari ini menyampaikan penjelasan yang lebih utuh, lebih obyektif, lebih terbuka," kata Presiden, sebelum memerintahkan tiga menteri memberi penjelasan.

Penjelasan Menteri Luar Negeri
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengakui bahwa pemerintah memang tidak mendapatkan pemberitahuan mengenai pelaksanaan hukuman mati terhadap Ruyati. Padahal, pemerintah telah melakukan pendampingan terhadap Ruyati sejak Februari 2010. "Kami mengecam eksekusi tanpa pemberitahuan oleh pemerintah Arab, yang bertentangan dengan hukum internasional," kata dia.

Proses hukum di Arab Saudi disebutnya tidak transparan. Menurut catatan lembaga internasional, akses kedutaan terhadap pengacara dan jadwal eksekusi sangat terbatas. Ruyati dihukum mati saat proses pengampunan kepada keluarga masih dimintakan. Hanya keluarga dan ahli waris yang bisa memberikan pengampunan -- bahkan Raja Arab pun tak bisa.

"Meskipun seluruh elemen bangsa sedih tapi kita tak bisa abaikan fakta bahwa almarhum telah mengakui secara gamblang, membunuh ibu majikannya pada 12 Januari 2010," kata Marty. Pengakuan Ruyati itulah yang membuat proses persidangan berlangsung kilat. Misalnya, pengadilan tingkat pertama hanya berlangsung dua kali karena terdakwa telah mengaku.

Marty menyebut contoh hukuman mati bagi warga negara lain yang juga gagal diintervensi kepala negaranya, seperti yang terjadi pada enam warga Filipina pada 2001-2008. "Ini bukan pembenaran tapi penyampaian fakta," kata Marty.

Pemerintah enggan dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya yang berhasil menyelamatkan Zainab binti Zuhri dari hukuman mati pada tahun 1999. "Tanpa mengecilkan kontribusi dua pemerintahan terdahulu, perlu dipahami bahwa saat itu hukuman mati Zainab memang sedang masa penundaan karena korban punya anak berusia satu tahun," kata Marty.

Penjelasan Menteri Hukum dan HAM
Menteri Patrialis membacakan kronologi pertemuan bilateral dengan Arab Saudi. Ruyati ternyata termasuk dalam daftar 23 WNI terdakwa mati yang dimintakan pengampunan. Namun, sesuai hukum setempat, pengampunan oleh negara hanya bisa diberikan bila ada pengampunan dari pihak keluarga. Dalam kasus Ruyati, hal itu tak didapatkan.

Sebagai respon terhadap berbagai kasus, termasuk kasus Ruyati, Menteri Patrialis lalu memberi rekomendasi kepada Presiden, salah satunya untuk mengangkat atase-atase hukum di berbagai kantor Kedutaan Besar Indonesia di negara-negara tujuan TKI.

Penjelasan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Terkait kasus Ruyati, menurut Menteri Muhaimin, pihaknya sudah mendorong agar pihak keluarga almarhumah bisa mendapatkan kewajiban-kewajiban yang belum ditunaikan, seperti gaji yang belum dibayarkan.

Kementerian Muhaimin juga sudah memulai langkah pengalihan penempatan tenaga kerja. Dampaknya, kata dia, terjadi kelangkaan TKI di Arab Saudi. "Selama 40 tahun kita memberangkatkan TKI, baru kali ini mereka (Saudi) mau duduk bersama dan menandatangani nota awal MoU pada Mei lalu," kata Muhaimin. MoU itu sendiri belum ditandatangani. Kata Muhaimin, maksimal dalam waktu enam bulan barulah terwujud nota kesepahaman bilateral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar